Welcome to my blog ➡ Hanimasnurhutama.blogspot.com

Rabu, 10 Oktober 2012

Pasar Gede Solo


pasar gede6PASAR monumenal di Solo ini mulai dibangun Herman Thomas Karsten, seorang arsitek Belanda, tahun 1927.
Pada 12 Januari 1930, Pasar Gede, nama pasar ini, diresmikan oleh Paku Buwono X. Konon, pembangunan pasar monumenal ini menelan biaya sekitar 650.000 gulden pada masa itu –kini setara dengan Rp 2,47 miliar. Pasar Gede adalah simbol harmonisasi antara lokal dan asing, yang diwakili oleh PB X selaku penggagas, dan Karsten sebagai eksekutor yang meski bukan orang Indonesia, tapi ternyata sangat menghargai budaya lokal. Hasilnya adalah arsitektur Indis yang dalam tataran filosofis arsitektural memberikan rasa ruang dan rasa tempat yang khas. Sebuah karya arsitektur yang nyaris sempurna secara tipologis, karena memperhatikan pendekatan rasional dan mempertimbangkan iklim budaya lokal.
Sebagai pasar tradisional, Pasar Gede awalnya bernama Pasar Gedhé Hardjonagoro, yang diambil dari nama cucu kepala Pasar Gedhé masa itu (1930), Go Tik Swan –keturunan Tionghoa namun mendapat gelar KRT Hardjonagoro dari PB XII. Dekatnya Pasar Gede dengan komunitas Tionghoa dan area Pecinan bisa dilihat dengan keberadaan sebuah klenteng Vihara Avalokitesvara Tien Kok Sie di dekatnya yang tak jauh dari perkampungan warga keturunan Tionghoa (pecinan) yang bernama Balong yang letaknya di Kelurahan Sudiroprajan. Itulah mengapa para pedagang sekalipun sekarang tidak dominan banyak yang merupakan keturunan etnis Tionghoa. Nama “gede” yang berarti besar, dipakai juga karena pintu gerbang di bangunan utama terlihat seperti atap singgasana.
Dulu pasar ini sebagai mediator perdagangan bagi masyarakat Belanda-Cina-pribumi dengan harapan hubungan antar etnis yang semula berkonflik dapat berlangsung harmonis. Sebagai pasar tradisional peninggalan masa lalu, pasar ini merupakan aset budaya masyarakat Solo. Apalagi jika mengingat jejak sejarahnya, di mana pasar ini muncul dari embrio pasar candi yang berkarakter Candi Padurasa. Proses perubahan Pasar Candi berubah menjadi pasar ekonomi yang disebut “Pasar Gede Oprokan” yang digambarkan dengan payung-payung peneduh untuk kegiatan pasar.
Tentu saja, dulunya Pasar Gede hanya sebuah pasar kecil di area seluas sekitar 5.000 meter persegi di persimpangan jalan dari kantor gubernur (sekarang Balai Kota Surakarta). Diberi nama pasar gede karena terdiri dari atap yang besar. Di pasar inilah dulu distribusi barang dilakukan oleh abdi dalem Kraton Surakarta.
Tahun 1947, pasar ini mengalami akibat serbuan Belanda, dan direnovasi tahun 1949. Perbaikan atap selesai juga dilakukan tahun 1981. Kemudian pada 28 April 2000 pasar ini ludes dilalap api. Renovasi pun dilakukan dengan mempertahankan arsitektur asli, ketinggian aspek kultural dan historis yang berusaha dipertahankan dan akhirnya selesai di penghujung tahun 2001. Pemerintah indonesia mengganti atap yang lama dengan atap dari kayu. Bangunan kedua dari pasar gedhe, digunakan untuk kantor DPU yang sekarang digunakan sebagai pasar buah.
Salah satu kecanggihan pasar ini adalah, turut memperhatikan keperluan penyandang cacat dengan dibangunnya prasarana khusus bagi pengguna kursi roda.
Kondisi bangunan pasar ini jauh lebih beradab dari pasar pada umumnya. Betapa Karsten sudah mempertimbangkan atap, sirkulasi udara, masuknya cahaya agar kondisi pasar tidak pengap, lembab dan juga menciptakan iklim komunikasi yang baik dengan cara membuat lorong yang dibuat lebar untuk memudahkan interaksi antar pedagang. Dengan bijak ia melakukan semacam pengamatan akan kebiasaan masyarakat pengguna dan mempelajari kebudayaan setempat. Tidak seperti kebanyakan arsitek Belanda yang justru terkesan memaksakan ide “Belanda” pada bangunan-bangunan di Indonesia.
Heritage
Dalam buku Babad Solo karya RM Sajid disebutkan pada masanya Pasar Gede tumbuh dan berkembang melebihi pasar-pasar lainnya di Solo, seperti Pasar Kliwon, Pasar Legi, dan Pasar Pon, yang tingkat keramainnya dipengaruhi oleh hari pasaran. “Kajawi kathah griya los-losanipun ingkang ageng-ageng, pasaripun lumintu saben dinten boten wonten gothangipun. Bibaripun tiyang sesadeyan kirang langkung jam gangsal sonten. (Selain banyak ruko-ruko yang besar-besar, pasarnya setiap hari selalu ramai. Selesainya orang berdagang, kurang lebih pukul 17.00,” papar RM Sajid dalam Babad Solo.
Fenomena nlain yang semakin mengukukuhkan keberadaan Pasar Gede Solo, adalah tahun 1927, saat Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwono (PB) X merehab bangunan pasarnya. Pembangunan ulang ini memunculkan sejarah baru bahwa pasar tradisional ini bukan hanya untuk tataran wilayah Kota Solo, namun seluruh Indonesia. Betapa tidak, dengan pembangunan ulang ini menjadikan Pasar Gede sebagai pasar pertama bertingkat di Indonesia.
Kini, dalam usianya yang sudah 78 tahun, pasar yang telah menjadi ikon Kota Solo ini tetap kokoh. Bangunan berlantai dua dengan tugu jam di persimpangan jalan, tepat di depan bangunan itu juga masih elegan di persimpangan antara Jalan Urip Sumoharjo dan Jalan Ketandan. Kita pun bisa melihat kemegahan bangunan ini saat melintas dari arah Jalan Jenderal Sudirman menuju Jalan Urip Sumoharjo. Di kawasan ini, nadi perekonomian Kota Solo tetap berdenyut. Ikatan emosional masyarakat terhadap Pasar Gede ini tampaknya membuat bangunan ini terus eksis. Ratusan pedagang ikut berdenyut di pasar ini, mulai pedagang ikan laut, daging babi, daging sapi, grosir buah, kembang, ayam potong, ayam hidup, pakaian, pedagang sayur, pedagang makanan dan oleh-oleh khas Solo.
Para pedagang ditempatkan di selasar sepanjang kiri dan kanan koridor utama. Selain pintu utama di barat dan timur, ada pintu berukuran sedang di utara pasar.
Pintu masuk utama pasar ini berkanopi lebar bertuliskan Pasar Gede dengan gaya tulisan Art Nouveau. Lantai untuk masuk berujud ramp. Setelah hall masuk, terdapat ruang terbuka, kemudian ruang-ruang los pasar membujur ke utara dan timur. Selain penjual daging, tentu saja tak beda jauh dengan pasar tradisional lainnya, ragam ualan Pasar Gede terdiri dari berbagai macam jenis dari kebutuhan pangan, sandang hingga kebutuhan pelengkap yang lain.
Jika Anda penggemar kuliner, Anda pun tak bakal kecewa. Sebab di pasar inilah es dawet telasih Bu Dermi yang kondang itu mangkal. Lokasinya berada di tengah pasar, di antara lalu-lalang orang. Tempatnya memang sempit. Pada siang hari, para pembeli harus antre, duduk berdesakan di bangku panjang. Namun kesegaran es dawet telasih akan menghapus segala penat dan pengap.
Tak jauh dari Bu Dermi, coba juga ayam goreng dengan bumbu khas pasar yang ditata apik dan menggoda selera. Ayam ini disarakan untuk oleh-oleh dan dibawa pulang, karena tidak disediakan tempat untuk menyantapnya. Selain ayam, coba juga berbagai macam abon dan cabuk kering. Ingin yang sedikit manis? Tak rugi jika mencoba jajanan pasar : cenil, klepon, grontol yang terbuat dari jagung, tiwul khas Wonogiri, sawut, utri, gatot dan lopis. Semua bisa divariasikan dengan pilihan parutan kelapa, gula merah atau gula pasir dan gula merah yang dicairkan. Harga rata-rata Rp 1.000 per bungkus.
Jika masih belum puas juga dan ingin membawa oleh-oleh lebih banyak, bisa juga membeli kripik cakar ayam, karak, rambak dari kulit sapi, brem, atau belut goreng. Semua sudah dikemas rapi di kios-kios dengan harga satuan per kilogram rata-rata Rp 10.000 hingga Rp 20.000 untuk masing-masing pilihan. Di Pasar Gede, Anda bisa belanja sekaligus menikmati heritage –jejak sejarah pasar ini. (Ganug Nugroho Adi)
Pasar Gede 1935
Pasar Gede 1935

Pasar Gede 1935
Pasar Gede 1935
Pasar Gede 1935
Pasar Gede 1935
Pasar Gede 1935
Pasar Gede 1935
Pasar Gede 1937
Pasar Gede 1937

0 komentar:

Posting Komentar